• Andai Anak Ku Seperti Mereka

    Andaikan Anak Ku Seperti Mereka....... ( bag 1.)

    Dalam bepergian terkadang kita sering duduk bersebelahan dengan ibu/umi2, baik dalam Bis, Kereta atau Pesawat, dan biasanya mereka suka bercerita, kadang ceritanya buat kita terenyuh, manakala yang diceritakan sesuatu yang inspiratif ada juga yang mungkin kurang asik, tergantung yang dibahas, namun kali ini ada cerita yang menarik untuk dikisahkan, ketika ibu di deretan seat pertama, Group T, Pesawat Boeing JT 0398 Flight Departing Bna (SIM) – Jakarta (CKG) On 7 peb 2015,  ibu dari sebelah kiri saya bercerita tentang kisah seputar kejadian dalam keseharian hidupnya, namannya Bu Molly.
    Bu Molly adalah perempuan sukses dengan penghasilan yang lumayan, Beliau memiliki anak lelaki kini gajinya sampai 27 juta bahkan yang diatasnya, itu menurut yang saya dengar.
                Bu Molly bercerita dengan temannya yang persis tempat duduknya disisi sebelah kiri saya, no 18B, no seat saya 18c. Karena bersebelahan mau tidak mau pembicaraan si Bu Molly kedengeran juga.
    Awalnya bu Moly cerita tentang anak2 nya,  dia orangnya Putih Tinggi, usianya sekitar 50 an tahun, gaya berpakaian serta bahasanya mencirikan beliau berasal dari level elit dan berpendidikan lumayan tinggi, kuat dugaan Bu Molly itu seorang yang High Class, apalagi  kadang dia bercerita tetang perkembangan bisnis propertinya yang semakin berekspansi.
                Bu moly curhat sama temannya tentang dua anak lelakinya, dan satu anak perempuannya yang kini sudah menjadi salah seorang “presenter infotaiment news” di salah satu TV Nasional, anak lelaki pertama bekerja di CHEVRON, dan satu lagi sedang menyelesaikan studi akhir di Australia, sementara si ibu disisi kiri saya no seat 18b, anaknya sudah menikah semua dan hidup dengan kemampuan yang  lumayan juga, begitulah kedenganrannya.
    Penerbangan Aceh - Jakarta itu +/- 2 jam 40 menit, lumayan lama, awalnya saya mau tidur  untuk mengalihkan rasa penat dan bosan, tapi ketika saya mendengar cerita Bu Molly itu mulai, saya jadi pengen menjadi pendengar yang serius, meski mungkin tak di harap hehe, namun berawal disinilah, kisah ini ada, bu molly mengisahkan tentang seorang sohibnya, perempuan teman satu sekolah  dan tetengga bersebelahan di Betawi dulu, setelah Tsunami temannya itu menetap di Aceh dan kamaren (saat dikisahkan) adalah hari ke sembilan temannya itu menghembuskan nafas terakhirnya "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" kata saya, seketika juga si temannya bu molly disisi kiri saya menoleh, lalu dia bertanya "kenapa adek bilang gitu siapa yang meninggal", "maaf bu, saya jawab. "tadi tanpa sengaja saya mendengar Bu Molly itu cerita sahabatnya baru meninggal, maka sebagai muslim kata Rasul, sunat bagi kita mengucap kalimah itu sebagai tanda ikut berduka cita". ooh gitu.. iyaa.. saya jawab. saya lanjut merem lagi, dan Bu Molly kembali berkisah....tentang sahabatnya itu, yang sudah diaggab seperti saudari kandungnya ketika masih hidup, kalau bukan begitu pun mana mungkin Bu Molly itu mau melayat jauh2 ke Aceh dari Betawi.
                Ceritanya  jadi menarik ketika dia mengisahkan tentang  {prosesi  penyelenggaraan jenazah sahabat karibnya itu yang Cuma dikerjakan oleh ketiga anaknya tanpa harus melibatkan orang lain}.
    Bu Molly yang dari level elit itu mulai  terharu ketika bercerita. Ku lihat wajahnya mulai serius dan bersahaja, ada butir air mata yang keluar dari sudut kedua matanya,
    Almarhumah itu bernama "Dewi Mutiasari" dia memanggilnya Dek Mutia, begitulah..
    Kabarnya dulu semasa masih gadis, Bu Molly itu dan Bu Mutia termasuk perempuan "idola" yaa idola dijamannya. “Dari dulu emang mutia uda kelihatan lain lah bu” kata bu molly sama temannya, mengenang ahklak baik bu mutia sahabat sejatinya itu.
    Pada akhirnya, setelah dewasa Bu Molly itu berjodoh dengan seorang pengusaha asal Tegal Jawa Tengah namanya Pak Bramantio, dan Bu Mutia berjodoh dengan seorang Pria biasa Asal Aceh namanya Alghadzali. Yah sekitar 29 th lalu..
    Bu Molly dan  Bu Mutia pernah bekerja di tempat yang sama di perusahaan BUMN di Jakarta. Namun ketika itu Mutia memilih mengundurkan diri setelah menikah atas saran suaminya dan { lalu Bu Mutia meneruskan hidup di Aceh dengan sangat sederhana berbekal seorang suami yang basic Teungku/Guru Agama. Di Aceh Tgk Alghadzalli mendirikan pesantren kecil tempat pengajian di daerah pedalaman Aceh Besar, berdekatan dengan Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda dan mereka dikaruniai dua anak lelaki. Keduanya dimasukkan kepesantren setelah taman SMA, pesantren Labuhan Haji Aceh Selatan dan Samalanga kab Bireun - Aceh, serta si Bungsu Perempuan belajar ngaji di pesantren ayahnya}.
    Sebagai sahabat, Bu Molly dulu pernah mengingatkan Bu Mutia ketika mengundurkan diri dari BUMN dulu. Bu Molly berasumsi cari pekerjaan itu sulit dan jika pun dapat, kesempatan kerja di perusahaan bergengsi seperti itu sangat tidak gampang. Sementara dek Ghadzali tidak memiliki pekerjaan yang menjanjikan, namun mutia tetap kekeh dengan pendiriannya, begitulah kenang bu  molly mengingat kisah lalu, mengingat betapa kuatnya pendirian mutia!, wktu itu bu mutia bilang “Bang Al mau hidup di Aceh, saya sih ikut kemana bang Al aja” kata Almarhum bu mutia dulu. Begitu kta bu molly.
    “Anak-anak Mutia yang cow ganteng2 buanget bu, mirip Arab gitu... ii apalagi tu yang cew si dek nisa” lanjut bu molly seolah ingin mengatakan ga salah dulu Bu Mutia mau nikah sama Alghadzali.   “yah, wajarlah ayahnya Aceh umi nya Betawi, Blasteran indonesia” jawab ibu disebelah kiri saya sambil tertawa.. “dan akhlak serta keyakinan agamanya anak anak itu, masya Allah..
                Kamren Bu Molly merasakan sesuatu yang belum pernah dia lihat dan di dengar dari teman-teman Arisan nya di Jakarta seumur hidupnya.
    yaaa... Anak –anak Bu  Mutia... Ghufran 23 tahun,  Akbar 21 dan Jannatun Nisa 19 th. {BU Mutia telat dikaruniai momongan di bandingkan Bu Molly itu}.
    Anak – Anak Bu Mutia itu yang Menjadikan Bu Molly  iri... dia benar-benar terharu..
    Orang-orang berkata kepadanya, Bu Mutia sangat beruntung memiliki anak yang shaleh dan shaleha. Alkisah, sebelum kembali kejakarta pada malam ke-8 (delapan) Bu mutia meninggal, BU Molly,  memanggil kedua anak BU mutia yang sudah diaggab seperti anak kandungnya sendiri, "Nak.. Bunda ikut berduka cita sedalam –dalamnya, atas kepergian sahabat ibu yang paling baik, ibu kalian, dek mutia dan mohon maaf Bunda tidak bisa ikut melayat waktu Ayah kalian dik Ghadzali wafat.. Jika nanti kalian dalam meneruskan hidup dikemudian hari memerlukan apa pun, jangan pernah sungkan beritahu bunda, bunda akan membantu semampu bunda nak, kalian adalah anak2 bunda juga.
    nak.... dari kemarin bunda sebelumnya sudah mendengar kata orang2 dsini, orang2 saling bercerita bu mutia sangat beruntung telah melahirkan manusia hebat seperti kalian, bunda juga melihat sendiri,  ada ketabahan dan kekuatan iman yang luar biasa pada raut wajah kalian, kalian begitu iklas dengan kepergian Dek Mutia, seolah tidak sedang terjadi apa-apa dengan kalian, padahal mulai saat ini kalian sduah jadi yatim piatu”, bu molly mulai terbata-bata, dia mengambil tissu mengeringkan air matanya yang mulai keluar, ibu disisinya pun mulai terdiam menanti kelanjutan cerita “coba ceritakan sama bunda nak, bunda mau dengar dari mulut kalian bertiga, bagaimana kalian memperlakukan ibu kalian saat dia sakit hingga dia wafat ?"
    Maka berceritalah Ghufran sebagai ank pertama, "Bunda... Allah sudah menguji kami didunia ini saat usia kami masih tergolong muda, umi jadi lumpuh sejak ayah dan umi kecelakaan motor 3 bulan lalu,  Ayah meninggal dunia di tempat kejadian dan Ummi sempat menjalani perawatan beberapa minggu di RSUZA Banda Aceh, kerena kekurangan biaya dan tidak ada perkembangan atas kesembuhannya kami memutuskan untuk merawat sendiri ummi kmi,  sejak itu,  Dek Ghufran, Akbar  dan dex nisa saling bergantian merawat bunda, satu minggu giliran dek Nisa, satu minggu Ghufran dan satu minggu Akbar, setiap 3 minggu se x kami minta ijin sama Guru masing – masing  di pesantren untuk pulang ke Aceh besar demi merawat bunda, Guru kami pun mengijinkan dengan senang hati, pada awalnya, Ghufran dan Akbar saja  saja yang berencana merawat ummi, biar dex Nisa bisa meneruskan pengajiannya tidak terganggu, tapi saat kami sedang berdiskusi dek Nisa bilang “ Abang ! ijinkan Nisa berbakti kepada umi, nisa mengerti maksud hati abang Ghufran dan Bang Akbar, tapi nisa juga Rindu surga abang, Bukankah Alllah berfirman : (“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al Isra(17):23),”)* saya yang sedari tadi hanya mendengar kisah indah ini melirik kearah suara yang terdengar mulai bergetar, Ooh... Ya Allah... tanpa terasa  bintik2 air mata mulai mengalir dari sudut mata bu molly, kemudian dia melanjutkan ceritanya.
    “Ghufran bilang”, “Akhirnya saya dan Akbar sudah tak punya alasan apa pun lagi untuk meniadakan dek nisa dalam bagian merawat ibu”. Kami merawat ibu dengan sekuat tenaga kami yang diberikan Allah, saya melihat dek Nisa dan Akbar sama sekali tidak pernah melihat sekalipuan ada rasa kepayahan dalam merawat umi, Ghufran sangat beruntung memiliki saudara seperti mereka, Alhamdulillah ya Allah kata Ghufran sambil melirik ke arah kedua adiknya itu, mereka kini sudah yatim piatu. Kata bu molly sama temannya.
    Lalu Ghufran meneruskan ceritanya, 3 hari umi menjelang ajal, masih giliran dek nisa yang menjaga, waktu dek nisa melihat ada tanda2 umi akan dipanggil Allah, dia mengabari, Ghufran dan Akbar pun bergegas pulang, hingga mereka mendapati suasana hening dirumahnya.
    Setiap kami pulang, kami saling memberi salam kepada bunda kmi, mencium keningnya, memeluk tubuhnya sambil berbisik, “Bunda... maafin kami, kalau kami sudah berbagi tugas merawat bunda, sesungguhnya tiada sedikitpun rasa kepayahan kami ketika merawat bunda, dari bawah kaki umilah pintu surga kami, seharusnya kami bisa berbarengan, Karena ayah pernah berpesan dulu sebelum beliau kembali kepada Allah, bahwa “Menuntut ilmu agama itu wajib dan merawat orang tua juga wajib, dan manakala kalian menemukan urusan yang demikian dalam waktu bersamaan (menuntut ilmu dan merawat orang tua) maka carilah jalan keluar oleh kalian akan hal yang demikian itu, wahai umi sedang engkau sudah merawat kami diwaktu kecil bertahun – tahun lamanya, menjaga kami dari setiap gigitan nyamuk, berjaga siang malam demi memastikan kami tidur dengan nyenyak, menyelimuti kami menggantikan popok kami, umi sedot hidung kami dengan mulut umi, saat hidung kami tersumbat, bunda tiada pernah merasa payah setiap membersihkan kotoran2 kami, dan lalu manalah mungkin kami akan merasa kepayahan hanya dengan merawat umi baru beberapa bulan, Umi tersenyum meski tidak bisa menjawab”
    “Bunda.. kami sudah merawat ibu sesuai dengan perintah Allah, sesuai ilmu agama yang kami ketahui, sesuai amanah ayah semasa masih hidupnya”.
    Lalu saat kami mendapati umi sudah dalam keadaan kepayahan dengan sakitnya, kami membaca surah yasin, karena sesuai kata Nabi, Dari Ma’qil bin Yasar Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
    Iq raa’u ala mautakum yasin

    (“Bacalah surat Yasin kepada orang yang menjelang wafat di antara kalian.”)*
    Saya niat dalam hati ya Allah..  seandainya keadaan umi yang begini karena ajal yang mendekat, maka ringankanlah sakitnya rasa ruh keluar diri tubuh umi dengan berkat surat yasin, dan seadainya sakitnya umi sebagai ujian, maka sembuhkanlah umi dengan berkat surah yasin.
    faedahnya surat yasin bagi orang menjelang ajal adalah {Dalam kitab I’anatuth Thalibin karya Imam As Sayyid Al Bakri Ad Dimyathi Rahimahullah -yang merupakan syarh atas kitab Fathul Mu’in-nya Imam Al Malibari- beliau menuturkan beberapa perkataan para ulama dalam kitabnya itu:

    وفي رباعيات أبي بكر الشافعي: ما من مريض يقرأ عند يس إلا مات ريانا، وأدخل قبره ريانا، وحشر يوم القيامة ريانا.
    قال الجاربردي: ولعل الحكمة في قراءتها أن أحوال القيامة والبعث مذكورة فيها، فإذا قرئت عليه تجدد له ذكر تلك الاحوال.
    (وقوله: والرعد) أي ويسن أن يقرأ عنده الرعد أي لقول جابر بن زيد: فإنها تهون عليه خروج الروح.

    Dalam Ruba’iyat, Abu Bakar Asy Syafi’i berkata, “Tidaklah surat Yasin dibacakan kepada orang sakit melainkan dia akan wafat dalam keadaan puas (tidak haus), dimasukkan ke kubur dalam keadaan puas, dan di kumpulkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan puas.”
    Berkata Al Jarubardi: “Hikmah dibacakannya adalah bahwa peristiwa kiamat dan hari kebangkitan disebutkan dalam surat tersebut, maka jika dibacakan atasnya dia bisa memperbarui ingatannya atas kejadian-kejadian tersebut.
    (Perkataannya: dan surat Ar Ra’du) artinya disunahkan membaca di sisinya surat Ar Ra’du, yaitu lantaran ucapan Jabir bin Zaid: Hal itu akan meringankannya ketika keluarnya ruh. (I’anatuth Thalibin, 2/107)}*
                Karena jin laknatillah dia meminta ijin kepada Allah untuk menyesatkan manusia pada saat manusia akan menjelang mati, untuk mengacaukan aqidah kita, bunda.. saat manusia menjelang ajal ada rasa haus yang sangat luar biasa yang dirasakan oleh kita, ketika itu iblis laknatillah yang sudah diberikan ijin untuk menyesatkan aqidah hamba2 datang menyerupai dirinya dengan orang2 yang kita sayang, jika ibu yang meninggal maka iblis akan datang menyurupai anaknya yang paling di sayang sambil dia membawa air, lalu iblis berkata, katakanlah aku Tuhan mu akan kuberikan air ini sebagai penghilang dahaga mu, maka jika kita mengikuti kata iblis, binasalah iman kita dan kita akan abadi dalam jahannam, selamanya. kerena itu salah satu penangkal iblis yang akan menggoda manusia saat menjelang ajal adalah dengan membaca surah yasin bunda. Allah akan memperlihatkan nikmat surga, sehingga orang yang menjelang ajal terlihat tersenyum, kerna melihat tempat kembalinya, dan hilanglah rasa sakitnya mati itu, apalagi yang membaca itu adalah anak-anaknya sangat afdhal, Terang ghufran.
                Ketika surah yasin yang kami baca sampailah pada akhir  {“wa ilaihi tur ja’un”}* dek nisa menoleh ke mata umi yang sudah mulai terbolik balik, dek nisa bilang, abang.. sepertinya umi akan pergi, lalu Ghufran mendekatkan mulut pada telinga umi yang kanan, saya talqin umi... Laa iLaa Ha iLLallah....! cukup sekali, dan tidak boleh menggoyangkan badan orang yang sedang sakaratul maut sambil berkata – kata ajnabi, misal, “bu.. jangan lupa baca kalimah thayyibah yaa, laa ila ha illallah”, tidak boleh begitu bunda, karena kita diajarkan Rasulullah sebagaimana hadits nabi dari Nu’aim,
     Wailah bin Al Aqsha, Rasulullah bersabda
    {“Laqqinu mautakum bi laa ilaaha illallah, wabasysyiru bil jannati, fainnal haliima minarrijali wannisaa yatakhayyaru inda dzalika al masyru, wa innasysyaithana ya’ti ahadakum inda mautihi wa yumtahi u nuna. (Talqinkan orang yang akan mati diantaramu dengan kalimah Laa ilaaha illallah bahagiakanlah mereka dengan surga, sesungguhnya orang penyantun dari laki-laki dan perempuan akan memilih ketika mereka mendapat kebingungan dan sesungguhnya syaithon pun akan mendatanginya ketika ajal menjemputnya dan mereka akan diuji terus.}*
     Sambil tersenyum Bu Molly membayangkan kalimah terang yang di jelaskan oleh anak sehabat karibnya itu, kadang keluar kata spontan dari mulut bu molly, “Demi Tuhan, anak kandung Mario dan Dinda, tidak akan mampu memperlakukan diri ku nanti saat akan menjelang ajal, seperti anak2nya Mutia”  anak saya Cuma tahu materi dan materi, dunia dan dunia, perempuan cantiq dan laki-laki gagah, ya Allah.. bagaimana aku menanggung dosa anak2 ku, sedang dosa ku sendiri tiada terhitung” keluhnya sambil melamun.
    “Lalu apa tandanya saat umi kalian sudah sampai ajal”, Ghufran menjawab “dalam syariat dijelaskan bahwa, ketika ingin memastikan seseorang sudah sampai ajal atau belum, maka masukkan tangan mu kebawah pinggang orang yang sedang sakaratul maut itu, jika tulang pinggangnya sudah rata dengan alas tidurnya, itu tanda sudah sampai ajal, kemudian taruh tangan mu di hidungnya, atau di urat lehernya atau pada urat nadinya, jika sudah tidak ada getaran lagi maka sudah sampai ajalnya. Lalu kami memastikan umi sudah kembali menghadap Allah SWT, dan kami pun berucap {INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAJI’UN dan kmi membacakan doa ketika memejamkan mata umi, Bismillah wa bi Millati Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa shallam}*
    “Apakah tidak ada orang lain yang melihat saat kalian memperlakukan umi kalian sedemikian rupa”, “ada” kata Ghufran, “pak imam kampung  ini dan tokoh masyarakatnya,  sejak ayah meninggal tidak ada satu pun  yang menjauh dari rumah kami melainkan mereka berjanji bergiliran akan terus mengunjungi kami, Cuma kami minta sama mereka, jika kami butuh sesuatu tolonglah kami dan bantu kami dalam mengurusi umi, jika tidak maka ijinkanlah kami mengurus umi kami dengan tidak mengurangi rasa hormat dan terimaksih kami pada warga kampung ini, pak imam dan tokoh2 kampung tersenyum lalu datang memeluk kami satu persatu, mereka berkata, kami merindui anak seperti kalian.
    Ketika umi akan di mandikan, pak imam bertanya “apakah ada yang bisa kami bantu”, Ghufran Cuma bilang sama ibu yang biasa memandikan jenazah di kampung ini,  “tolong mie nek duduk di dekat kami, jika kami nanti ada yang salah saat memandikan umi, mohon di benarkan, di tegur, karena kami belum terbiasa dengan pekerjaan ini meski secara tiori kami baca dalam kitab fiqh, namun kmi takut jika ada perbuatan yang tertinggal”.
     Lalu mie nek mempersiapkan sarung tangan yang dibuat dari kain kaffan juga, untuk mengeluarkan kotoran umi, dek nisa bilang, “tak perlu nek, nisa akan keluarkan kotoran umi dengan tangan nisa sendiri tanpa harus ada kain pelapis, bertahun-tahun semasa kami  kecil, umi membersihkan kotoran kami tanpa pernah menggunakan sarung tangan, mie nek berkata, nak, kotoran mayat itu sangat bau, maaf bukan bermaksud merendahkan keadaan, dek nisa menjawab, “meski sebau apa pun”. “Tidaklah mungkin seorang anak mampu melupakan bagaimana seorang ibu berlari-lari mengejar nisa di waktu kecil untuk dimandikan, saat kami masih latah dan nakal, sekarang saat budi sudah ditabur, giliran kami membalas budi itu”, kata nisa mie nek” sambung si sulung Nisa, gadis cantiq berahklaqul qarimah. Mie nek itu pun terharu dan terenyuh mendengar kata yag keluar dari mulut mungilnya itu.
    {Sebenarnya ini jadi pelajaran bagi kita alangkah beruntungnya kita,  ketika mati, anak sendiri lah yang memandikan, aib kita, kelemahan kita akan terjaga sampai kiamat,  dan pastinya seorang anak akan sangat hati2  saat memandikan mayat orang tunya dan anak sendiri pasti akan lebih iklas lillahi ta’ala memandikan kita, bahkan anak kita tidak akan menggunakan sarung tangan sekalipun untuk mengeluarkan kotoran kita, sungguh sangat beruntung memiliki anak yang shaleh dan shaleha}*
    Lalu bu Molly lanjutin cerita sama temennya, “Ghufran bilang, dek  Akbar.... pangku umi di kepala Dek...., Dek Nisa... pangku di kaki Dek...., Ghufran pangku di pinggang, jangan bentangkan Umi kita diatas batang pisang (Di Aceh biasa mayat dimandikan dengan di buat alas tidur khusus dari batang pisang, atau sejenisnya  agar mayat yang dimandikan mudah dibersihkannya). Lalu saat tiba memandikan uminya, Ghufran mengingatkan, Dek Akbar... perlahan..lahan Dek usap kepala Umi, sakit tubuh Umi Dek, Dek Nisa.... yang lemah lembut  Dek, bersihkan kaki Umi, sakit tubuh Umi Dek....!
     Jika seorang yang memandikan jenazah mendengar suara jeritan mayyit saat di mandikan, “lauw sami’a masair... maka pingsanlah mereka yang memandikan itu, Kata Rasul, Cuma dua golongan mahkluk yang tidak bisa mendengar suara jeritan mayat, yaitu Jin dan Manusia. Mayat itu menjerit, wahai orang yang sedang membersihkan jasad ku, berhatilah-hatilah membersihkan tubuh ku, wahai orang yang mengeluarkan cincin ku, keluarkan dengan perlahan-lahan dari jari2 ku, sakit tubuh Ku”
    Kemudian Ghufran minta sama mie nek, tolong ambilkan 3 gumpal kapas, mana tau setelah di bersihkan kotoran nanti bisa keluar lagi dari halqah dzuburnya, maka di sumpallah lobang anus itu dengan kapas agar saat umi di gerak gerakkan tidak ada lagi kotoran yang keluar.
    Kemudian di tuangkan air sembilan, ghufran bilang sama akbar dan nisa, baringkan umi lambung kiri kebawah, lambung kanan keatas untuk kita tuangkan air tiga kali, lalu dituangkan air 3 x dari kepala hingga ke kaki, maka 3 xg kiri ke atas, lambung kanan kebawah, maka dituangkan lagi air 3  x, kemudian tidurkan umi kembali dengan terlentang seperti awalnya, maka di tuangkan lagi air 3 x beserta doa yang dibacakan ghufran... {wahai manusia, 9 x di tuangkan air atas tubuh kita oleh anak kita, 9 kali juga dibaca doa, maka sekiranya air panas pun yang di tuangkan diatas tubuh si mayat sekalipun, maka tetap akan terasa sejuk pada mayat di karenakan doa anak kepada orang tuanya yang tiada hijab untuk diqabulkan Allah}, ooo alangkah beruntungnya memiliki sibuah hati yang shaleh dan shaleha... subhanallah.....
    Ini lah yang di katakan oleh Nabi “Walidain, salihin yad’u lahu....” anak yang shaleh, anak yang beragama, bukan anak berandalan, bukan preman, bukan penikmat dunia..
    Setelah di air sembilankan kemudian, Ghufran mengambil kain kafan yang sudah siapkan, lalu, di kapaskan pada tubuh uminya,  kata Rasul, “kapaskan oleh mu pada mayat pada 7 anggota sujud dalam shalat”, dua pergelangan tangan, jidad, dua lutut, dua kaki..

    Bersambung bag ll
  • You might also like

Pembaca Hari Ini

Cari Artikel Disini

Apakah Menurut Anda Jokowi - JK Sudah Menepati Janjinya Seperti Apa Yang Dijanjikan dimasa Kampanye

islam dan muslim

Allah berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Dan janganlah Kamu Mati Kecuali Dalam Keadaan Muslim / Beriman !
itu janji muslim yang harus dipegang kuat-kuat.