Apakah shalat nisfu sya’ban itu bid’ah ?
Jawaban dari Habib Munzir Al Musawwa
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
kebahagiaan dan Kesejukan Rahmat Nya semoga selalu
menaungi hari hari anda dg kebahagiaan,
Saudaraku yg kumuliakan,
Mengenai shalat tasbih, riwayatnya adalah berkata
Rasulullah saw kepada Abbas ra : “Wahai Abbas, wahai pamanku, maukah kau
kuberi?, maukah kau termuliakan?, maukah kau kuajari keluhuran..?, maka
perbuatlah 10 hal, yg jika kau kerjakan maka Allah akan mengampuni dosamu yg
pertama dan terakhir, dosa yg terdahulu dan yg baru, yg sengaja dan tak
sengaja, yg besar dan yg kecil, yg tersembunyi dan yg terang terangan, 10
bagian yaitu kau shalat 4 rakaat, dan kau membaca pada setiap rakaat surat
Fatihah dan surat lainnya,jika selesai dari bacaannya maka bacalah Subhanallah
walhamdulilllah walaa ilaha illallah wallahu akbar 15X, lalu……(demikian Rasul
saw meneruskan bacaan shalat tasbih sebagaimana kita ketahui).. maka jadilah
setiaprakaat 75X dzikir itu, lakukan demikian 4 rakaat, maka lakukanlah jika
mampu akan hal itu setiap hari, jika tidak maka setiap jumat sekali, jika tidak
maka setiap bulan sekali,jika tidak maka setahun sekali, jika tidak maka seumur
hidupmu sekali (HR Sunan Abi Dawud bab shalat tasbih, Mustadrak ala shahihain
Bab Shalat Tattawwu’, Fathul Baari Bisyarah Shahih Bukhari Bab Fadhl Attasbih,
dll).
Mengenai shalat nisfu sya’ban saya belum menemukan
riwayatnya yg shahih dan tsigah, namun kita lebih percaya pada parea Kyai kita
daripada mereka yg dangkal dalam ilmu hadits
jikapun hal itu bid’ah, maka tentunya Bid’ah hasanah,
Shalat sunnah boleh dil;akukan kapan saja, maka jika memperbanyak ibadah di
malam nisfu sya’ban dengan memperbanyak shalat, apakah salahnya?
salahkan orang memperbanyak sujud dimalam itu?
sebagaimana riwayat shahih ketika Imam Masjid Quba
mengada ada dengan membaca surat alikhlas pada setiap rakaat setelah fatihah
baru kemudian surat lainnya,
maka makmumnya memprotesnya, kenapa surat al ikhlas
disederajatkan dg fatihah??
maka imam itu keras kepala dan tak mau merubahnya,
kabar disampaikan pada Rasul saw, dan Rasul saw memanggilnya dan menanyakannya,
maka Imam Masjid Quba menjawab
tanpa dalil, seraya berkata : “Aku mencintai
surat Al Ikhlas.., maka Rasul saw bersabda : cintamu pada surat al ikhlas akan
membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
jelas sudah, Rasul saw tak menyalahkan orang yg
membuat buat suatu hal yg beliau saw tak ajarkan, selama hal itu baiik, berikut
masalah Bid’ah hasanah :
BID’AH
1. Nabi saw memperbolehkan berbuat bid’ah hasanah.
Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah
selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw :
“Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya
dan pahala orang yg mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya,
dan barangsiapa membuat buat hal baru yg buruk dalam islam, maka baginya
dosanya dan dosa orang yg mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari
dosanya” (Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih
Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan
banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid;ah dhalalah.
Perhatikan hadits beliau saw, bukankah beliau saw menganjurkan?,
maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yg membuat
kebaikan atas islam maka perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yg
tidak mencekik ummat, beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau
100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman,
modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah
diperlukan hal hal yg baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan,
demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yg tetap akan bisa dipakai hingga
akhir zaman, inilah makna ayat : “ALYAUMA AKMALTU LAKUM DIINUKUM..dst, “hari
ini Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, kusempurnakan pula kenikmatan bagi
kalian, dan kuridhoi islam sebagai agama kalian”, maksudnya semua ajaran telah
sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua
hal yg baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah
direstui oleh Allah dan rasul Nya, alangkah sempurnanya islam,
bila yg dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan,
maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat ayat
lain turun, masalah hutang dll, berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna
Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti
hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini maka Musyrikin tidak
lagi masuk masjidil haram, maka membuat kebiasaan baru yg baik boleh boleh
saja.
namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat
baru yg bertentangan dg syariah dan sunnah Rasul saw, atau menghalalkan apa apa
yg sudah diharamkan oleh Rasul saw atau sebaliknya, inilah makna hadits beliau
saw : “Barangsiapa yg membuat buat hal baru yg berupa keburukan…dst”, inilah yg
disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman
akan berkembang, maka beliau saw memperbolehkannya (hal yg baru berupa
kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar
ummat tidak tercekik dg hal yg ada dizaman kehidupan beliau saw saja, dan
beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yg buruk
(Bid’ah dhalalah).
Mengenai pendapat yg mengatakan bahwa hadits ini
adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yg
dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak
menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan
bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.
2. Siapakah yg pertama memulai Bid’ah hasanah setelah
wafatnya Rasul saw?
Ketika terjadi pembunuhan besar besaran atas para
sahabat (Ahlul yamaamah) yg mereka itu para Huffadh (yg hafal) Alqur’an dan
Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar
Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang
kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan
akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku
(Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata :
Bagaimana aku berbuat suatu hal yg tidak diperbuat oleh Rasulullah..??, maka
Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan
kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku
setuju dan kini aku sependapat dg Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda,
cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah
mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah
Alqur’an..!” berkata Zeyd : “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan
sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk
mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yg tak diperbuat
oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah
kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku
setuju dan kini aku sependapat dg mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan
Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768).
Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas
Abubakar shiddiq ra mengakui dengan ucapannya : “sampai Allah menjernihkan
dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dg Umar”, hatinya jernih menerima
hal yg baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Alqur’an, karena sebelumnya
alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah pisah di hafalan
sahabat, ada yg tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll, ini adalah
Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yg memulainya.
Kita perhatikan hadits yg dijadikan dalil menafikan
(menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan,
diriwayatkan bahwa Rasul saw selepas melakukan shalat subuh beliau saw
menghadap kami dan menyampaikan ceramah yg membuat hati berguncang, dan membuat
airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini
adalah wasiat untuk perpisahan…, maka beri wasiatlah kami..” maka rasul saw
bersabda : “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan
taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak afrika, sungguh diantara
kalian yg berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf perbedaan
pendapat, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin
yg mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat kuat dg geraham kalian (suatu
kiasan untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal yg baru, sungguh
semua yg Bid;ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan pada kita untuk
mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau saw
telah memperbolehkan hal yg baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan
sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq
ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan
hal yg baru, yg tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu
pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dg persetujuan
dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah.. sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di
ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar shiddiq ra
dimasa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar
bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan
seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari hadits no.1906)
lalu pula selesai penulisan Alqur’an dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga
Alqur’an kini dikenal dg nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi Thalib kw
menghadiri dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yg dibuat-buat tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan
di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan dimasa Rasul saw, tidak dimasa Khalifah
Abubakar shiddiq ra, tidak pula dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan
dimasa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits
no.873).
Siapakah yg salah dan tertuduh?, siapakah yg lebih
mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa keempat
Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah?
3. Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yg menolak bid’ah hasanah
inilah yg termasuk pada golongan Bid’ah dhalalah, dan Bid’ah dhalalah ini
banyak jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan
pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah penolakan atas hal baru
selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah diperbolehkan
oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul saw telah jelas
jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak ikhtilaf, berpeganglah pada
Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin, bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw
membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka
melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan atas hal inilah yg merupakan Bid’ah
dhalalah, hal yg telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah
hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan Kitab Al-Quran dan Kitab
Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam karena kedua kitab
tersebut (Al-Quran dan Hadits) tidak ada perintah Rasulullah saw untuk
membukukannya dalam satu kitab masing-masing, melainkan hal itu merupakan
ijma/kesepakatan pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan
setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, shahih Muslim dll
inipun tak pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula
Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in mulai menulis
hadits Rasul saw.
Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, sharaf, dan
lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits, ini semua
adalah perbuatan Bid’ah namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas sahabat,
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun
itu di sebut dalam Al-Quran bahwa mereka para sahabat itu diridhoi Allah, namun
tak ada dalam Ayat atau hadits Rasul saw memerintahkan untuk mengucapkan ucapan
itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka
mereka menambahinya dengan ucapan tersebut.
Dan ini merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula
kini Al-Quran yang di kasetkan, di CD kan, Program Al-Quran di handphone,
Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.
Bid’ah yang baik yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena
dengan adanya Bid’ah hasanah di atas maka semakin mudah bagi kita untuk
mempelajari Al-Quran, untuk selalu membaca Al-Quran, bahkan untuk menghafal
Al-Quran dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang kalau kita menarik mundur kebelakang sejarah
Islam, bila Al-Quran tidak dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang
terjadi pada perkembangan sejarah Islam ?
Al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat
ra yang hanya sebagian dituliskan, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran
di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang
masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah
Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal
Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal
Hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah
sudah sabda Rasul saw yg telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dg
jelas bahwa hal hal baru yg berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan
kelak, dan beliau saw telah melarang hal hal baru yg berupa keburukan (Bid’ah
dhalalah).
Saudara saudaraku, jernihkan hatimu menerima ini
semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini, ketahuilah ucapan ucapannya
adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai
Bid’ah hasanah : “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku
sependapat dg Umar”.
Lalu berkata pula Zeyd bin haritsah ra :”..bagaimana
kalian berdua (Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh
Rasulullah saw??, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan,
hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah menjernihkan dadaku
dan aku setuju dan kini aku sependapat dg mereka berdua”.
Maka kuhimbau saudara saudaraku muslimin yg kumuliakan,
hati yg jernih menerima hal hal baru yg baik adalah hati yg sehati dg Abubakar
shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati Zeyd bin haritsah ra, hati para
sahabat, yaitu hati yg dijernihkan Allah swt,
Dan curigalah pada dirimu bila kau temukan dirimu mengingkari hal ini, maka
barangkali hatimu belum dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dg mereka,
belum setuju dg pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw
sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah
perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dg geraham yg maksudnya
berpeganglah erat erat pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari kalian hingga sehati dan sependapat
dg Abubakar Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi
Thalib kw dan seluruh sahabat.. amiin
Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris
Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu
bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yg sejalan dg
sunnah maka ia terpuji, dan yg tidak selaras dengan sunnah adalah tercela,
beliau berdalil dg ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah
sebaik baik bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy
rahimahullah
“Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka
kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi :
“seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah
dhalalah” (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yg
dimaksud adalah hal hal yg tidak sejalan dg Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau
perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal
ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yg baik dalam
islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg mengikutinya dan tak
berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yg
buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yg mengikutinya” (Shahih
Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah
yg baik dan bid’ah yg sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3. Al Muhaddits Al Hafidh Al Imam Abu Zakariya Yahya
bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat
buat hal baru yg baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yg
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa
membuat buat hal baru yg dosanya”, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat
kebiasaan kebiasaan yg baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yg buruk, dan
pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yg baru adalah
Bid’ah, dan semua yg Bid’ah adalah sesat”, sungguh yg dimaksudkan adalah hal
baru yg buruk dan Bid’ah yg tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7
hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa Ulama membagi
bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yg wajib, Bid’ah yg mandub, bid’ah yg mubah,
bid’ah yg makruh dan bid’ah yg haram.
Bid’ah yg wajib contohnya adalah mencantumkan dalil dalil pada ucapan ucapan yg
menentang kemungkaran, contoh bid’ah yg mandub (mendapat pahala bila dilakukan
dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku buku ilmu syariah,
membangun majelis taklim dan pesantren, dan Bid;ah yg Mubah adalah bermacam
macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui,
demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yg umum, sebagaimana
ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa inilah sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam
Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Al Hafidh AL Muhaddits Al Imam Jalaluddin Abdurrahman
Assuyuthiy rahimahullah
Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah” ini bermakna “Aammun makhsush”, (sesuatu yg
umum yg ada pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yg Menghancurkan segala
sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur, (*atau pula
ayat : “Sungguh telah kupastikan ketentuanku untuk memenuhi jahannam dengan jin
dan manusia keseluruhannya” QS Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan semua
manusia masuk neraka, tapi ayat itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna
seluruh musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat
bagaikan kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah
wafatnya Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Sumber:blog[dot]its[dot]ac[dot]id/syaf