Apa kematian (ajal) itu? Dan
apakah masa kematian (ajal) itu dapat ditunda?
pertanyaan
Jawaban Global
Kematian (ajal) dalam
perspektif filsafat Islam adalah terlepasnya pengurusan dan pengaturan
jiwa (nafs) atas badan dan terpisahnya jiwa dari badan. Tentu
saja, pandangan ini bersumber dari al-Qur’an dan riwayat-riwayat yang tidak
memandang kematian sebagai ketiadaan, kehancuran, dan kesirnaan.
Dalam teks-teks Islam,
terdapat ragam redaksi yang digunakan untuk kematian dimana dari
redaksi-redaksi tersebut memiliki keseragaman makna dan common
point. Common point tersebut adalah bahwa kematian
bukanlah ketiadaan dan kesirnaan, namun perpindahan dari satu kediaman dan
alam menuju kediaman dan alam lainnya. Lantaran manusia
terkerangka dari ruh dan badan. Dengan kematian, yang merupakan tiadanya
kehidupan jasmani secara lahiriah, maka ruh berpindah ke alam lain,
alam barzakh dan akhirat. Dan inilah makna dan arti kematian bagi manusia.
Kematian terjadi
tatkala ruh dicabut oleh malaikat maut sebagaimana pada waktu tidur.
Bedanya,kematian (ajal) merupakan sebuah tidur yang panjang. Dan
tidur adalah kematian sementara atau kematian pendek, dan pasca
kematian adalah wafat (berpindah) bukan kebinasaan, kesirnaan, dan
ketiadaan. Kematian adalah kelahiran baru dari rahim tabiat alam dunia, yang
berdasarkan kelahiran ini manusia memasuki alam baru yang tidak dapat
dibandingkan dengan dunia natural ini, sebagiamana alam rahim tidak dapat
dibandingkan dengan dunia natural dan alam materi.
Kematian merupakan jembatan
dan lintasan dimana dengan melintasinya, manusia mengayungkan langkah kakinya
menuju alam baru dan terselamatkan dari pelbagai kesulitan dimana hal ini dapat
terealisasi tatkala kediaman di dunia dimakmurkan dan kediaman akhirat tidak
dikorbankan dan dirusak.
Dalam menjawab pertanyaan
yang mengemuka bahwa apakah kematian atau ajal manusia dapat
ditunda? Pertanyaan ini dapat dijawab bahwa dalam banyak ayat dan riwayat kita
mengenal dua jenis ajal: Ajalmuallaq (bersyarat) dan ajal pasti (tetap)
yang dengan kata lain yang disebutkan dalam nash-nash agama.
“Ajal muallaq” setiap
orang adalah durasi masa seseorang hidup di dunia, namun ajal ini dapat
berkurang dan bertambah. Misalnya dengan merajut hubungan silaturahmi dan
bersedekah maka ajal ini akan ditunda dan ditambah, sementara
ketika menyakiti orang tua dan memutuskan hubungan silaturahmi ajal
tersebut akan berkurang. Dan ajal sedemikianlah yang tercatat pada lauh
mahw wa itsbat. Adapun ajal pasti adalah ajal yang tidak berubah dan termaktub
pada ummul kitab.
Jawaban Detil
Dalam teks-teks Islam,
beragam redaksi yang digunakan terkait kematian dan ajal dimana dari ragam
redaksi ini tampak masing-masing realitas dari kematian. Akan
tetapi, sebelum mengkaji al-Qur’an dan riwayat-riwayat, sebagai
pendahuluan, kita akan membahas beberapa tuturan sebagian filosof dalam masalah
ini:
Ibn Sina bertutur, "Kematian
tidak lain kecuali bahwa jiwa dan nafs manusia meninggalkan
media dan wahananya (baca: badan dan tubuh lahiriah). Dan yang dimaksud
dengan media di sini adalah semuaanggota badan dan panca indra
manusia yang kesatuannya disebut sebagai badan dan jasad.[1]
Mulla Shadra menyampaikan, "Kematian
adalah keterpisahan ruh dari badan. Dan jiwa dan nafs dalam
gerakan substansial (al-haraka al-jauhariyah) sampai kepada suatu tingkatan
dimana ia tidak lagi memerlukan wahana badan dan media raga. Badan
laksana bahtera yang ditunggangi oleh jiwa (nafs)yang membantunya dalam
perjalanan menuju Tuhan di atas daratan benda-benda materi dan
lautan ruh. Dan tatkala ia melintasi tingkatan ini, maka jiwa tidak lagi
membutuhkan badan dan atas alasan ini kematian terjadi dan penyebab terjadinya
kematian adalah bukanlah berakhirnya kekuatan-kekuatan natural atau habisnya hararah gharizi (panas
badan) atau segala sesuatu yang lain yang dipandang oleh para dokter, melainkan
kematian adalah perkara natural bagi jiwa. Perkara ini adalah penyebab
kebaikan, kesempurnaan dan sesuatu yang menjadi penyebab kebaikan dan
kesempurnaan adalah menjadi hak-Nya. Oleh itu, kematian adalah hak-Nya.[2] Dalam
masalah ini, dalam pembahasan rasionalitas ditegaskan bahwa kematian adalah
putusnya hubungan jiwa dan badan sedemikian sehingga jiwa tidak lagi mengatur
badan.
Bagaimanapun, filsafat Islam
berupaya dengan bersandar kepada al-Qur’an dan hadis berupaya menafsirkan
kematian, dan oleh karena itu dengan merujuk kepada ayat dan riwayat kita akan
berusaha mengumpulkan bekal dalam perjalanan di dunia ini.
1. Al-Qur’an
terkadang memandang kematian (ajal) sebagai tiadanya kehidupan dan
efek-efeknya seperti sirnanya kegiatan berpikir dan berkehendak.
Namun tiadanya kehidupan akan bermakna pada sesuatu tatkala ia memiliki
kedudukan dan potensi untuk disifati dan dicirikan sebagai memiliki kehidupan. “Mengapa
kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan
kamu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:28). Atau ihwal berhala-berhala patung adalah
benda mati dan sekali-kali tidak memiliki potensi untuk hidup, “(Berhala-berhala
itu) benda mati tidak hidup.” (Qs. Al-Nahl [16]:21)
Kematian bermakna tiadanya
kehidupan tatkala disandarkan kepada manusia. Dari angle dan sudut
pandang ini, manusia yang terkerangka dari ruh dan badan, kemudian
setelah badan memiliki kehidupan lalu kehidupan itu hilang (dari badan) dengan
kematian. Dari sini dapat dikatakan bahwa kematian dialami oleh (badan) manusia
dan kalau tidak demikian maka dalam al-Qur’an akan dikatakan bahwa ruh yang
dicirikan mengalami kematian (bukan badan) demikian juga tentang kematian malaikat
yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an.[3]
2. Di
antara redaksi-redaksi yang digunakan al-Qur’an terkait dengan kematian adalah
redaksi ta-wa-ffa-,[4] tawaffa berasal
dari kata dan klausul wafa yang bermakna menerima sesuatu tanpa
adanya pengurangan. “Tufitul mal” artinya aku menerima uang tanpa adanya
kekurangan. Pada 14 ayat al-Qur’an menyebutkan tentang kematian.
Hal ini menjelaskan suatu
hakikat bahwa: pertama, manusia memiliki dimensi nonmateri dan dalam sorotan
dimensi ini ia tidak akan mati. Dan ruh manusia yang tanpa sedikitpun mengalami
kekurangan akan diserahkan kepada petugas-petugas gaib (malaikat) Tuhan dan
mereka menerima sisi ruhani manusia ini. Sisi nonmateri ini adalah apa yang
disebut dalam ayat-ayat sebagai ruh dan jiwa (nafs). Dan berkat pancaran
dimensi ruhani dan sisi Ilahiah ini manusia memperoleh kehidupan baru setelah
kematian (terpisahnya dengan badan).
Kedua, pribadi hakiki
manusia bukanlah raga dan anggota badannya. Karena raga secara gradual akan
punah dan hancur.[5] Dan
tidak akan berpidah ke tempat atau ke alam lain. Dan penegas lainnya dalam
masalah ini adalah dalam ayat-ayat sedemikian, satu silsilah perbuatan organik
seperti berbicara dengan para malaikat, menitip asa dan menyampaikan
permintaan, tidak akan disandarkan kepada manusia setelah kematian. Dan dengan
jelas membuktikan hakikat ini bahwa seluruh realitas manusia bukan jasad tanpa
perasaan. Kalau tidak, maka perbincangan manusia dengan malaikat dan lain sebagainya
tidak akan bermakna. Dan kepribadian sejati manusia setelah kematian berada di
tangan malaikat maut.[6] Dan
harus dikatakan bahwa, kematian adalah wafat bukan faut.[7]
Oleh karena itu, kematian
merupakan sebuah masalah eksistensial dan dapat diciptakan sehingga atas alasan
ini dalam al-Qur’an kematian juga disebut sebagai makhluk sebagaimana
kehidupan.[8] Pada
surah al-Zumar, ayat 42 disebutkan, “Allah yatawaffa al-anfus haina
mautiha wallati lam tamut fii manamiha.” (Allah memegang
jiwa-jiwa [orang] ketika matinya dan [memegang] jiwa-jiwa [orang]yang
belum mati di waktu ia tidur). Kemudian menjaga ruh-ruh yang ditelah
dikeluarkan surah perintah kematiannya dan mengembalikan ruh-ruh lainnya (yang
tetap harus hidup). Pronomina (dhamir ha) pada redaksi “Mauti-ha” dan “manami-ha”
meski secara lahiriah dinisbahkan pada anfus, namun pada hakikatnya
menunjukkan pada badan-badan dan jasad-jasad manusia. Karena yang mati adalah
badan bukan ruh. Kematian merupakan sebuah tidur yang panjang dan tidur adalah
kematian temporal. Dengan kata lain, tiada bedanya antara kematian dan tidur
dimana tidur merupakan kematian tak lengkap dan tak sempurna (naqish). Artinya
dalam tidur ada izin bagi ruh untuk kembali ke badan.[9]
Pada ayat 60 dan 61 surah al-Waqiah dapat
dijadikan contoh bahwa kematian adalah perpindahan dari satu kediaman ke
kediaman lainnya. Perubahan dari satu penciptaan kepada penciptaan lainnya dan
bukan merupakan kebinasaan dan ketiadaan.[10] Sebagai
konklusi dapat dikatakan bahwa kematian adalah kelahiran kembali dan kelahiran
sekunder.
Nabi Muhammad Saw dalam hal
ini bersabda, "Kalian tidak diciptakan untuk sirna, melainkan diciptakan
untuk abadi dan yang ada hanyalah perpindahan dari satu kediaman ke kediaman
lainnya."[11]
Imam Ali As juga mencirikan
kematian sebagai berikut, "Kematian adalah perpisahan dari kediaman
sementara dan kepergian ke kediaman abadi nan lestari. Maka seorang berakal
harus mempersiapkan diri sebagaimana seharusnya."[12] Imam
Husain As dalam penjelasannya yang indah menganalogikan kematian sebagai
jembatan dan tempat lintasan dimana orang beriman dengan melintasinya ia
melewati pelbagai penderitaan dan kesusahan kemudian memasuki surga.[13]
Adapun terkait pertanyaan
tentang apakah kematian itu dapat ditunda dan dikemudiankan atau tidak? Dapat
dikatakan bahwa dalam teks-teks Islam, ajal disinggung dalam dua bentuk. [14] Al-Qur’an
menyebutkan, “Dia menentukan ajal (masa hidup tertentu supaya kamu dapat
menggapai kesempurnaan ciptaanmu. dan ajal yang pasti hanya ada pada
sisi-Nya (dan hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya).“ (Qs. Al-An’am
[6]:2). Artinya bahwa seorang manusia memiliki satu ajal yang tidak ditentukan[15] dan
satunya ajal yang ditentukan (musamma) yang berada di sisi Tuhan dan tidak
mengalami perubahan dan bukti dari perkara ini adalah redaksi “di sisi-Nya”.
Dari sisi lain, “maa indaLlâhu Bâqin” (apa yang ada di sisi Allah adalah
abadi.”) (Qs. Al-Nahl [16]:96). Dan inilah ajalmahtum yang disinggung pada
ayat 49 surah Yunus, “Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat
mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) memajukan(nya).”
Namun harus diperhatikan
bahwa terdapat hubungan khusus antara ajal yang ditentukan (musamma) dan ajal
yang tidak ditentukan (ghairi musamma). Dengan demikian, boleh jadi yang
disyaratkan oleh "ajal bergantung (mu'allaq) atau ajal yang tidak
ditentukan (ghairi musamma)" tidak terwujud dikarenakan tidak terpenuhinya
syarat-syaratnya. Berbeda dengan ajal yang ditentukan (musamma) dimana tiada
jalan lagi untuk tidak terwujudnya. Sekarang apabila perkara ini kita tambahkan
dengan ayat 39 surah al-Ra’ad yang menegaskan, “Allah
menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah
terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh). Maka dapat disimpulkan bahwa ajal musamma adalah
sesuatu yang tersimpan pada “ummul kitab” dan ajal ghairimusamma tertulis
pada “lauh mahw wa itsbat.”
Ummul Kitab dapat
diterapkan pada perstiwa-peristiwa yang tetap di dunia luar. Artinya,
kejadian-kejadian yang bersandar pada sisi sebab-sebab umum yang tidak
menyelisih akibatnya.
Dan lauh mahw wa itsbat,
dapat diterapkan atas kejadian-kejadian yang disandarkan pada sebab-sebab tak
lengkap (illat naqish) yang dapat kita sebut sebagai “tuntutan-tuntutan” dimana
mungkin disertai dengan halangan-halangan atau terhalang akibat-akibatnya. Oleh
karena itu, terkadang ajal yang ditentukan dan tidak ditentukan sejalan dan
terkadang menyelisih dan yang berlaku adalah ajal yang ditentukan (musamma).[16]
Bagaimanapun, ajal yang
bergantung (mu'allaq) memiliki potensi untuk mengalami penundaan dan tertunda
karena adanya halangan-halangan. Dengan demikian, apabila kita menyaksikan
dalam banyak riwayat yang menyatakan bahwa dengan mengerjakan perbuatan dan
amalan tertentu usia manusia akan bertambah, menunjukkan pada poin ini bahwa
perbuatan yang dimaksud menjadi penghalang untuk terlaksanakannya ajal yang
bergantung itu.
Sebuah riwayat menyebutkan
bahwa, “Orang-orang yang hidup berkat perbuatan-perbuatan baiknya lebih banyak
daripada orang-orang yang menjalani usianya secara natural. Dan orang-orang
yang mati karena dosa-dosa mereka lebih banyak daripada orang-orang yang mati
karena ajalnya.”[17]
Terkadang suatu waktu
dijelaskan bahwa bersedekah dapat mengantisipasi ajal yang bergantung[18]serta
memanjangkan usia manusia. Dan pada waktu yang lain silaturahmi diperkenalkan
sebagai penyebab panjangnya usia manusia.[19][]
Untuk telaah lebih jauh dan
informasi lebih banyak tentang panjangnya usia manusia, Anda dapat merujuk pada
kitab yang berjudul, “Maa Yadfa’ al-Ajal al-Mu’allaq” (Tips untuk menolak ajal mu'allaq)
atau “Maa Yazid fi al-‘Umr (Tips Memanjangkan Usia)
[1]. Ibnu Sina, Risâlah
al-Syifâ min Khauf al-Maut, hal. 340 – 345
[2]. Mulla
Shadra, Asfar, jil. 9, hal. 238.
[3]. Allamah
Thaba-thabai, Al-Mizân, jil. 14, hal. 286
[4]. “(Yaitu)
orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para malaikat.” (Qs.
Nahl [16]: 32), “Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa
orang-orang yang kafir.” (Qs. Anfal (8)50, “Dan Dia-lah yang
menidurkanmu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang
hari, kemudian Dia membangunkanmu pada siang hari. (Kondisi ini terus berlanjut
hingga) ajal(mu) yang telah ditentukan tiba.” (Qs. An’am [6]: 60), “Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum
mati di waktu ia tidur; lalu Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (Qs.
Zumar [35]:42)
[5]. Dalam
surah al-An’am ayat 60 disebutkan bahwa “Huwaladzi yatawaffakum” (Dia-lah
yang menidurkanmu di malam hari) , redaksi “kum” pada ayat ini adalah yang
disebut sebagai aku atau dia dan senantiasa bersifat tetap.
[6]. Majmu’e
Âtsâr-e Syahid Muthahhari, jil. 2, hal. 503-111.
[7]. Abdullah
Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu’i al-Qur’an, jil. 3, hal. 388-397, dan jil. 2,
hal. 497-509.
[8]. “Dan
Dialah yang menciptakan kematiandan kehidupan.” (Qs. Al-Mulk [67]:2),
lihat Payâm-e Qur’ân, jil. 5, hal. 430 dan seterusnya.
[9]. Ayatullah
Makarim Syirazi, Payâm-e Qur’ân, jil. 5, hal. 433.
[10]. Allamah
Thab-thabai, Al-Mizân, jil, 19, hal. 133 dan jil. 20, hal. 356.
[11]. Allamah
Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 6, hal. 249.
[12]. Al-Maut
mufariqatu darul fana wa irtihal ilaa dar al-baqa.” Dalam penjelasan lainnya, “Khudzu
min mamurrukum li maqarrikum.” (Nahj al-Balagha, hal. 493), Dunia adalah tempat
lintasan dan akhirat adalah tempat kediaman abadi,dan dikatakan
(kepadanya), “Siapakah yang dapat menyelamatkan (dari kematian?” Dan
dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan betis
(kiri) bertaut dengan betis (kanan lantaran ia sedang menghadapi sakaratul
maut). Pada saat itu, kepada Tuhan-mulah kamu dihalau.” (Qs.
Al-Qiyamah [75]:26-30
[13]. Allamah
Majlisi, Op Cit, jil. 6, hal. 154. Ma’âni al-Akhbar, hal. 274. Mizân
al-Hikmah, jil. 9, hal. 234.
[14]. Allamah
Majlisi, Op Cit, jil. 5, hal. 139
[15]. Nakare (ajalan)
menunjukkan pada ajal yang tidak ditentukan.
[16]. Allamah
Thaba-thabai, Op Cit, jil. 7, hal. 8-10.
[17]. Muhammadi
Reisyahri, Mizân al-Hikmah, jil. 1, hal. 30.
[18]. Muhammadi
Reisyahri, Op Cit, bab 1464 dan 1467.
[19]. Muhammadi
Reisyahri, Op Cit, jil. 6, hal. 549, bab. 2932
Tidak ada komentar:
Posting Komentar