• KISAH INSPIRASI MUSLIM

    Aku Ingin Membaca Qur’an untuk Ibuku


    Sebuah kisah yang menyentuh hati tentang harapan indah seorang ibu kepada anaknya dan bakti sang anak kepadanya.
    Ahmad berumur 12 tahun ketika ibunya (orang tua tunggal) mengantarnya untuk kelas Qira’ati (membaca Al Qur’an). Saya suka anak-anak itu memulai belajar membaca Qur’an di awal usia, terutama anak laki-laki. Aku sampaikan hal itu pada Ahmad. Namun ia menyampaikan alasannya, bahwa ibunya selalu berharap dapat mendengar bacaan Al Qur’an darinya.
    Ahmad memulai pelajaran Qira’atinya dan sejak itu aku berfikir ini merupakan pekerjaan yang sia-sia. Meskipun aku sudah berusaha keras mengajarinya, ia tampaknya belum bisa mengenal huruf-huruf hijaiyah dan tidak bisa menalar bagaimana membacanya. Namun ia patuh untuk terus membaca Al Qur’an seperti yang kuwajibkan untuk semua murid-muridku.
    Dalam beberapa bulan ia terus berusaha sementara aku menyimak bacaannya dan terus menyemangatinya. Di setiap akhir pekan ia selalu berkata: “Ibuku akan mendengarku membaca Al Qur’an suatu hari.” Di balik itu aku melihatnya tak bisa diharapkan. Ia tidak berbakat!
    Aku tak mengenal ibunya dengan baik. Aku hanya sempat melihatnya dari kejauhan ketika ia mengantar atau menjemput Ahmad dengan mobil tuanya. Ia selalu melambaikan tangan kepadaku tapi tak pernah berhenti untuk masuk ke kelas.
    Suatu hari, Ahmad berhenti dari mendatangi kelas kami. Aku pernah berniat akan mencarinya tetapi kemudian berfikir mungkin ia memutuskan untuk melakukan hal lain. Mungkin ia akhirnya menyadari akan ketiadaan bakatnya dalam Qira’ati. Aku juga merasa lega dengan ketidakhadirannya. Ia bisa menjadi iklan yang buruk bagi kelas Qira’atiku!
    Beberapa minggu kemudian, aku mengirimkan selebaran kepada murid-muridku di rumah akan adanya acara pembacaan qira’ah Al Qur’an. Tak disangka, Ahmad  juga menerima pengumuman itu, menanyakan apakah ia diperkenankan untuk tampil membaca qira’ah Al Qur’an. Aku menyatakan bahwa sebenarnya acara ini untuk murid yang masih aktif saja dan karena ia sudah tidak pernah hadir lagi, maka ia tidak berhak tampil. Ia menyatakan bahwa ibunya akhir-akhir ini sakit dan tak bisa mengantarnya ke kelas. Ia juga menyatakan bahwa dirinya masih terus berlatih Qira’ati di rumah meskipun tidak masuk kelas
    “Ustadzah,… Aku harus ikut membaca qira’ah!,” paksanya kepadaku. Aku tak tahu apa yang menyebabkanku akhirnya memperbolehkannya ikut tampil. Mungkin karena tekad Ahmad yang kuat atau ada bisikan hatiku yang menyatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
    Malam acara pembacaan qira’ah itu telah tiba. Gedung olah raga sekolah telah dipenuhi para orang tua murid, teman-teman dan sanak saudara. Aku tempatkan Ahmad pada giliran terakhir sebelum aku sendiri yang akan menutup acara dengan ucapan terima kasih dan pembacaan qira’ah penutup. Aku berfikir bahwa jika penampilan Ahmad merusak acara ini maka itu terjadi di akhir acara dan aku bisa “menyelamatkan” penampilan buruknya dengan penampilanku sendiri.
    Pembacaan qira’ah dari murid ke murid berlangsung lancar. Mereka telah berlatih dan itu terlihat dalam penampilan mereka. Kini giliran Ahmad naik ke panggung. Bajunya lusuh tak terseterika dan rambutnya pun acak-acakan tak tersisir rapi. “Mengapa ia tidak berpenampilan rapi seperti murid-murid yang lain?” lintasan pertanyaan buruk sangka langsung bergolak di kepalaku. “Mengapa ibunya tidak mempersiapkan penampilannya? Paling tidak, sekedar menyisir rambutnya untuk acara istimewa malam ini?”
    Ia mulai membaca. Aku sungguh terkejut ketika ia mengumumkan bahwa surat Al Kahfi akan ia bacakan. Aku tak menyangka dan tak siap dengan apa yang kudengar selanjutnya. Suaranya begitu ringan dan lembut. Qira’ahnya sangat sempurna! Belum pernah kudengar bacaan Al Qur’an seindah itu dari anak-anak seumurnya.
    Setelah enam setengah menit ia berhenti.
    Penuh haru dan berlinang air mata, aku bergegas ke atas panggung dan memeluk Ahmad dengan gembira. “Aku belum pernah mendengar yang seindah itu Ahmad! Bagaimana engkau bisa seperti itu?” Melalui mikrofon Ahmad menjelaskan: “Ustadzah,… ingat tidak ketika aku mengatakan bahwa ibuku sakit ?
    Ya, maaf ya ustadzah !! aku tidak sekolah bukan karena malas, aku senang belajar qira'ah meski tidak sepandai murid - murid ustadzah yang lain, ibu ku menderita sakit jantung, aku harus merawat ibu, kami tak punya biaya untuk berobat, aku juga harus bekerja agar ibu tidak lapar, 1 minggu lalu aku pernah membawa ibu kerumah sakit, dokter mangatakan jantung ibu harus di operasi, biayanya ratusan juta, sekiranya aku menjual rumah dan semua yang kami punya itu pun hanya bisa menghasilkan 10 juta, dokter mengatakan jantung ibu sudah kronis, aku memutusnya merawatnya sendiri di rumah sambil belajar qira'ah dan ustadzah tau ? ibu ku sudah meninggal 1 hari yang lalu. Dan sebenarnya… ia lahir dalam keadaan tuli. Jadi, malam ini adalah kali pertama ibu bisa mendengarku membaca Al Qur’an. Karena itu, aku ingin menjadikan ini qira’ah yang istimewa.”
    Tak ada mata yang kering sepenuh gedung malam itu. Saat petugas dari Dinas Sosial mengantar Ahmad dari panggung untuk dibawa ke Panti Asuhan, aku melihat, bahkan mata mereka pun memerah dan sembab.
    Aku berkata di dalam hati, betapa hidupku semakin kaya dengan menjadikan Ahmad sebagai muridku. ia lah sebenarnya “sang guru” sementara aku adalah muridnya. Ia lah yang mengajariku hikmah dari kesabaran dan cinta serta kepercayaan diri. Aku juga belajar untuk memberikan kesempatan kepada seseorang, berharap kebaikan meskipun kadang tanpa alasan yang bisa dimengerti.
    [Diterjemahkan dari sebuah catatan di halaman Facebook I Love Allah]
  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

Pembaca Hari Ini

Cari Artikel Disini

Apakah Menurut Anda Jokowi - JK Sudah Menepati Janjinya Seperti Apa Yang Dijanjikan dimasa Kampanye

islam dan muslim

Allah berfirman :
ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا اتَّÙ‚ُوا اللَّÙ‡َ Ø­َÙ‚َّ تُÙ‚َاتِÙ‡ِ Ùˆَلا تَÙ…ُوتُÙ†َّ Ø¥ِلا ÙˆَØ£َÙ†ْتُÙ…ْ Ù…ُسْÙ„ِÙ…ُونَ
Dan janganlah Kamu Mati Kecuali Dalam Keadaan Muslim / Beriman !
itu janji muslim yang harus dipegang kuat-kuat.